DENPASAR ● Gerakan yang selalu mengganggu kestabilan investasi disinyalir berbau amis, ada kepentingan dibelakang layar yang menggerakan. Penolakan-penolakan yang terjadi di masyarakat terlihat tidak adil, ada kepentingan yang satu ditutupi yang satu dihabisi.
Menghubungi lewat pesan elektronik, AA Gede Agung Aryawan, ST selaku Pemerhati Lingkungan Bali, memberikan pandangannya terhadap pro-kontra pembangunan Terminal Khusus LNG (Liquefied Natural Gas/Gas Alam Cair) di Desa Sidakarya yang mendapat aksi demo penolakan warga Intaran Sanur dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) menarik dikupas dari sisi aturan dan terutama pasal yang mengaturnya pada RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kota Denpasar.
"Masyarakat Bali sudah cerdas melihat pengalaman sebelumnya. Melihat asas hukum yang ada dalam Perda No 8 Tahun 2021 sudah jelas bahwa penetapan infrastruktur jaringan gas di Kelurahan Pedungan dan Desa Sidakarya, " ungkap Gung De, Sabtu (16/7/2022).
Ia juga mengungkapkan bahwa polemik yang ada ini menurut pengamatannya, didukung oleh LSM Walhi dan menggandeng LSM lainnya mengajak serta Desa Adat Intaran Sanur hingga mendapat dukungan sejumlah politisi dan Walikota Denpasar.
"Sebaiknya jangan juga menggunakan simbol-simbol suci agama Hindu di Bali untuk aksi unjuk rasa" Ia menambahkan lebih detail lagi, bahwa dalam RTRW Kota Denpasar pada Pasal 20 khususnya Ayat 2 yang berbunyi: '(2), Jaringan infrastruktur minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas:a. infrastruktur minyak dan gas bumi yang terletak di Kelurahan Pedungandan Desa Sidakarya; danb. jaringan minyak dan gas bumi meliputi jaringan yang MenyalurkanMinyak dan Gas Bumi dari Fasilitas Produksi-Tempat Penyimpananterletak di Kelurahan Pedungan, Kelurahan Sesetan dan Desa Sidakarya'
Kelurahan Pedungan dengan pembangunan Indonesia Power Pesanggaran memiliki genset pembangkit listriknya dan Desa Sidakarya sebagai Terminal Khusus LNG menerima dari Dermaga Kapal, lalu jaringannya melewati Kelurahan Sesetan.
"Tentu dalam penetapan Perda RTRW lewat Sidang Paripurna memerlukan proses pembahasan antara pihak eksekutif dan legislatif mendapatkan pendampingan dari para ahli dan akademisi, " ujar Gung De tokoh vokal ini.
"Nah, jika melihat alasan penolakan dalam beberapa kali pemberitaan media dan medsos maka sangat jelas sekali terjadi standar ganda dalam aksi ini"
Apabila pembabatan hutan mangrove Tahura dipakai sebagai alasan penolakan, maka menurutnya hal itu tidak fair (adil).
"Sangat gamblang sekali kalau Embung Sanur dibangun dalam Kawasan Hutan Mangrove yang membabat 2, 3 Ha Kawasan Hutan Tahura Ngurah Rai. Di mana daerah rawa yang banyak hidup satwa biawak termasuk paku laut atau krakas, pohon jeruju, jangkah dan lindur. Paku laut termasuk mangrove langka di Bali saat ini, " ujarnya menambahkan.
Terkait keberadaan terumbu karang ia juga membandingkan dengan aktivitas pembangunan Pelabuhan Sanur dan Pelabuhan Benoa yang jelas sekali melakukan pengerukan alur kapal.
"Jadi pengerukan di tengah laut ini bukan sesuatu yang baru jika kita semua mau melihat secara menyeluruh tanpa kasus per kasus karena ada kepentingan politik atau pencitraan mencari panggung popularitas, " ujarnya mengingatkan.
Selanjutnya masalah kawasan suci atau tempat suci akan rusak oleh pembangunan Terminal Khusus LNG di Sidakarya juga bagi Gung De sangat mengada-ada.
"Kita tentu melihat kondisi Pura Dalem Pengembak yang juga berdekatan dengan Dermaga Jetty di Muntig Siokan, " ungkapnya.
Gung De juga memaparkan TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Suwung juga sangat berdampingan dengan Pura Warung dan Pura Kahyangan Pesanggaran yang ada dalam Kawasan Hutan Mangrove Tahura Ngurah Rai. Lalu kita melihat IPAL DSDP (Instalasi Pengolahan Air Limbah Denpasar Sewerage Development Project) lokasinya dempet dengan tempat melasti Desa Adat Kepaon dan Pura Dalem Watugunung. Di mana tempat Melasti Kepaon ini adalah tempat Melasti Ida Bhatara Sesuhunan Pra Sanak Dalem Sakenan yang ada di Teluk Benoa.
"Apalagi kepentingan Desa Adat Sidakarya ingin mendapatkan akses jalan masyarakat untuk ke laut langsung. Jadi dengan adanya akses langsung maka peran masyarakat adat Sidakarya dalam menjaga wilayahnya akan dapat maksimal, " jelasnya.
Sebenarnya imbuh Gung De, hal yang mesti jadi perhatian kita saat ini adalah tujuan diselenggarakannya KTT G-20, di mana para Kepala Negara di dunia melakukan komunikasi saling menjaga lingkungan dan aturan investasi.
"Investasi negara peserta KTT G-20 di Indonesia khususnya di Bali sangat kita harapkan bersama. Ketika kepastian hukum seperti Perda RTRW Denpasar yang jelas bisa dibatalkan dengan aksi demo dengan alasan mendengar aspirasi masyarakat, lalu mengapa saat pembahasan Raperda RTRW Denpasar tidak menanyakan masyarakat terlebih dahulu. Atau memang karena ada kepentingan, jadi berstandar ganda?" tanya Gung De pertanda curiga.
Terakhir ia berharap semua pihak kembali berpedoman kepada aturan dan RTRW yang berlaku dan sebelumnya telah disetujui bersama antara DPRD dan Pemerintah Kota Denpasar.
"Mari kita jaga KTT G-20 dengan cara melakukan aksi penolakan cerdas dan menggunakan aturan berlaku. Jika aturan memang memperbolehkan mengapa harus didemo. Kita awasi secara bersama agar aturan jangan dilanggar seperti pencaplokan sempadan sungai di wilayah Ubud dan pelanggaran sempadan pantai di Sanur. Salam waras!" seru Gung De mengakhiri. (Tim)